Candi Cangkuang: Transformasi Spiritualitas di Tanah Sunda
Selain Kompleks Percandian Batujaya dengan corak Buddha, terdapat
lagi sebuah candi tunggal yang berdiri di Jawa Barat. Candi tersebut
adalah Candi Cangkuang yang hingga kini merupakan satu-satunya candi
yang masih ada di Tanah Sunda dengan aliran Hindu.
Candi Cangkuang memang unik dan telah sejak lama kami merencanakan
untuk berkunjung. Lokasinya tidak terlalu jauh dari Ibukota, yaitu di
Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Dari Jakarta,
perjalanan menuju Leles memakan waktu sekitar 3,5 jam dengan rute tol
Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang) melewati Cileunyi, Bandung.
Bersama dua orang kawan, kami bertiga menjelajah Candi Cangkuang di
Garut melalui kendaraan umum dari Jakarta.
Keindahan yang Sakral di antara 6 Gunung
Sabtu pagi itu, sengaja kami berangkat pagi-pagi sekali untuk
menghindari kemacetan. Jalan tol lancar dan ketika kami memasuki Garut,
rasa lelah dan bosan di dalam bus berangsur terobati dengan pemandangan
yang dihiasi oleh hamparan sawah. Padi telah menguning dan petani tampak
tengah memanennya. Kami turun di sekitar alun-alun Kecamatan Leles. Di
persimpangan, kami memilih melanjutkan perjalanan dengan andong/delman
ketimbang ojek. Sebagai transportasi yang juga diperuntukkan bagi warga
lokal, tentu saja kami berbagi ruang dengan beberapa penduduk. Tempat
duduk menjadi agak sempit, tapi sepanjang perjalanan kami jadi banyak
mengobrol tentang kehidupan di Desa Cangkuang ini yang sebagian besar
juga adalah petani. Jalanan desa yang tak begitu lebar, membuat mobil di
belakang harus mengalah dengan kami yang berkuda.
Suasana desa masih begitu asri. Para orangtua sibuk menyiapkan panen,
sementara yang muda kebanyakan bekerja menjadi pengendara delman atau
ojek. Hanya butuh sekitar 15 menit untuk sampai di gerbang objek wisata
Candi Cangkuang. Jajaran pedagang sovenir berbaris sepanjang sisi menuju
loket tiket, mulai dari replika candi, hingga boneka domba.
Candi Cangkuang berada di tengah Pulau Panjang yang dikelilingi
perairan berupa danau yang bernama Situ Cangkuang. Untuk mencapainya,
kami harus mengendarai rakit bambu tradisional bersama para pengunjung
lain. Pada bagian kiri dan kanan danau, terdapat hamparan teratai.
Sayangnya, kami tak beruntung hari itu karena bunga teratai tidak sedang
mekar di musim hujan, namun hal itu tak mengurangi keindahan panorama
sekitar candi. Situ Cangkuang masih bersih. Pada cuaca cerah seperti
ini, kami dapat melihat dengan jelas pantulan rindang pepohonan di Pulau
Panjang, juga siluet gunung yang mengelilinginya pada permukaan danau.
Udaranya begitu sejuk dan segar, rasanya sangat tenang ketika rakit
mulai didorong menuju Pulau Panjang. Seorang pria setengah baya yang
mendorongnya tampak begitu sehat dan kuat, diikuti bocah lelaki yang
ikut-ikutan belajar mendorong menggunaka sebatang bambu besar dengan
kompak bersama ayahnya. Saya bertanya padanya tentang gunung-gunung yang
mengelilingi candi. Selain indah, lokasi ini pula bernuansa sakral. Di
ujung sana, Candi Cangkuang menghadap Gunung Gede yang diapit oleh
Gunung Guntur dan Gunung Kaledong atau Mandalawangi, katanya. Sementara
pada sisi pulau adalah Gunung Haruman (kanan) dan Cikuray (kiri), serta
membelakangi Gunung Ciremai (sumber lain menyebutkan Gunung Haruman,
Pasir Kadaleman, Pasir Gadung, Guntur, Malang, Mandalawangi, dan
Kaledong). Maka, keberadaan Candi Cangkuang tepat di pusat bintang segi
enam. Menghadap ke arah tiga gunung utama, seolah menandakan Trimurti
atau 3 dewa utama, yaitu Dewa Siwa, Wisnu, dan Brahma. Bagi masyarakat
Sunda Kuno atau masa sebelum, saat, dan bahkan paska-Kerajaan Sunda
(Sunda Wiwitan), Gunung Gede memiliki makna spiritual yang besar. Ia
melambangkan keagungan, kekuatan, kehancuran, dan juga penciptaan.
Metafor Dewa Siwa atau “Supreme Being” terhadap Gunung Gede tentu
menjadi bukan tanpa alasan, sebab banyak kehidupan lahir, hancur, dan
lahir kembali dari gunung dengan ketinggian hampir 10 ribu kaki yang
menyimpan ribuan jenis keanekaragaman hayati terkaya di Pulau Jawa.
Kami berjalan mengikuti jalan setapak mengelilingi pulau. Melintasi
kembali lapak dan warung-warung yang menjual sovenir dan makanan.
Kemudian, memasuki kampung kecil yang hanya diisi oleh 6 rumah panggung
khas Sunda (tak boleh ditambahkan atau dikurangi) yang saling berhadapan
simetris dengan sebuah masjid kecil di ujungnya. Kampung adat ini
bernama Kampung Pulo. Candi Cangkuang terletak di atas tangga setapak.
Menjadi Pusat Ajaran Agama Baru
Di antara rindang pepohonan besar, Candi Cangkuang tampak gagah,
sekaligus feminin. Dari kejauhan, ia tampak bagai Candi Prambanan atau
pura, hanya saja lebih sederhana dan polos. Tak terlihat ukiran maupun
relief pada kaki, badan, dan kepala candi. Nama “Cangkuang” pada Candi
Cangkuang berasal dari tanaman cangkuang (Pandanus furcatus) yang
tumbuh di sekitar candi bersamaan dengan beringin. Candi Cangkuang
ditemukan 9 Desember ’66 berdasarkan catatan sejarah arkeolog Belanda
(laporan Vorderman tahun 1893). Proses penggaliannya memakan waktu
hampir 2 tahun setelahnya. Pada 8 Desember ’76, candi selesai dipugar
dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu.
Hanya 40% bagian candi yang asli, sisanya adalah hasil rekonstruksi
dengan tambahan andesit dan granit untuk memperkuat strukturnya.
Kini, hanya terdapat satu arca Siwa yang ditaruh di dalam candi.
Bentuknya tak lagi sempurna dengan kondisi bagian pinggang yang patah.
Saat ditemukan, arca berada dekat dengan nisan Embah Dalem Arif Muhammad
yang terletak di sisi kiri. Dahulu, para peziarah yang berdoa selalu
mencoba mengangkat arca tersebut sebagai tanda apakah permohonannya
terkabul atau tidak.
Tak banyak informasi detil tentang candi yang diduga berasal dari
abad ke-7 atau ke-8 masa Kerajaan Sunda I. Catatan sejarah dan kisah
justru banyak terkait sosok Arif Muhammad yang kuburannya berjarak 3
meter dari candi. Beliau dikaitkan sebagai penyebar agama Islam pertama
di Garut dan sekitarnya.
Arif Muhammad adalah tentara utusan Mataram yang ditugaskan untuk
mengusir Belanda dari Batavia sekitar abad XVII. Kegagalannya, tak
membuatnya pulang dengan tangan hampa. Bersama pengikutnya, ia justru
bersembunyi area sekitar candi. Danau yang mengelilingi Pulau Panjang,
dikisahkan dibuat oleh Arif Muhammad dan pengikutnya. Di sinilah ia
menyebarkan agama dan membangun pusat ajaran Islam di antara masyarakat
Hindu dan Buddha di Tanah Sunda. Pada museum sederhana di dekat candi,
kita bisa melihat banyak temuan lembaran kitab berisi ayat-ayat Alquran
dari kulit kayu. Berangsur-angsur, masa itu kuil Hindu pun berubah
menjadi kawasan layaknya pesantren. Enam rumah yang ada di Kampung Pulo
dulu dipakai sebagai tempat mengkaji dan mengaji Islam. Enam
melambangkan 6 anak perempuan Arif Muhammad, sementara satu bangunan
masjid mewakili putranya yang meninggal (total menjadi 7 bangunan).
Sampai sekarang rumah tersebut masih ditinggali oleh generasi ke-8
hingga ke-10 dari keturunan sang Kyai. Uniknya, hanya perempuan-lah yang
boleh memiliki rumah (hak waris).
Pak Umar sebagai penjaga candi sekaligus generasi ke-9, banyak
bercerita kepada kami. Tak ada hewan ternak, terutama yang berkaki empat
di Pulau Panjang. Selain alasan takut merusak sawah-ladang dan
mengotori makam-makam kuno, juga karena sapi sebagai kendaraan Siwa
(Nandi). Kini, hampir tak ada lagi warga Desa Cangkuang yang menganut
Hindu.
Sebelum candi dipugar, telah banyak peziarah datang dengan berbagai
latar belakang agama dan permohonan yang datang untuk berdoa. Bagi
penduduk lokal, candi hampir tak lagi memiliki makna sakral. Doa-doa
dipanjatkan kepada mendiang Embah Dalem Arif Muhammad. Meski begitu,
umat Hindu dan Buddha kerap datang berdoa di candi yang dikelilingi oleh
hamparan makam kuno dan dihuni oleh kelelawar raksasa.
Ritual yang masih dilakukan warga Kampung Pulo adalah pencucian
pusaka dari 7 mata air (6 dari rumah dan 1 dari masjid) saat malam
Maulid Nabi (12 Rabiul Awal). Banyak cerita tentang berbagai penampakkan
di sekitar candi, pemakaman, maupun pohon-pohon besar di sini. Namun,
warga setempat selalu memiliki banyak cara untuk melindungi warisan
leluhurnya.
Hingga sekarang, bentuk sebenarnya dari Candi Cangkuang dan
lingkungan kuil Hindu ini masih menjadi teka-teki yang menunggu untuk
ditemukan. Sementara itu, sosok Arif Muhammad dan Candi Cangkuang
merupakan sejarah yang tak dapat dipisahkan dari spiritualitas dan
religiusitas masyarakat Sunda kini dan nanti, khususnya bagi orang
Garut.
0 Response to "Sejarah Candi Cangkuang"
Posting Komentar